Saturday, April 23, 2005

kekosongan yang sempurna

aku,....
kadang-kadang kita lupa tentang siapa diri kita. saya ulangi: siapa diri kita
ke-aku-an kita sering membutakan kita dari nyatanya makna
ke-aku-an kita sering mengecohkan kita dari yang sebenarnya
lalu siapa aku yang sebenarnya?
terhempas dalam jurang ke-aku-an sering membuat kita LUPA
ketika seseorang memuji kita, dengan berbaju kesederhanaan kita sering menjawab:
.."alhamdulillah"....
tapi tak jarang pula kita benar-benar lesap dalam maknanya
"alhamdulillah" menjadi suatu kata-kata suci ke-syukuran kita pada sang-Maha
tapi tak jarang pula kita benar-benar menikmati makna yang sebenarnya

alhamdulillah : segala puji bagi Allah, Tuhan pencipta alam semesta
ketika kita mendapatkan sebuah pujian, kenikmatan, kebaikan, keindahan kita
telah diberi kesempatan untuk bersyukur
Bukan bersyukur karena kita telah diberi kenikmatan, akan tetapi bersyukur
ketika kita mengucapkan "alhamdulillah" justru kita sedang merendahkan diri kita
se-rendah-rendahnya dihadapan sang-Maha karena semua pujian hanya mampu
dilukiskan untuk-Nya, semua kenikamatan hanya untuk melukiskan nafasnya, dan semua
keindahan hanya untuk memetakan wajahnya
Dan ketika kita merendahkan diri, serendah-rendahnya kita baru bisa meresapi
bahwa tak ada secuil usaha, upaya dan tenaga kita selain dari-Nya
Dan ketika kita merendahkan diri, serendah-rendahnya, kita baru bisa menangis bahagia
betapa Ia telah mencintai kita dengan kekosongan yang sempurna..........

sebuah percakapan....

wahai saudara,...siapakah sebenarnya dirimu?
kemudian ia menjawab dengan diam.
wahai saudara, mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku?
kemudian ia menjawab dengan diam

wahai saudara, mengapa kau diam saja?
karena aku sedang menjawab pertanyaanmu, dan diam adalah diriku.
wahai saudara, tetapi dengan diam kau tak menjelaskan apa2 kepadaku!
karena tak ada yang bisa dijelaskan kepadamu dan diam adalam jawaban untukmu
wahai saudara,...siapakah sebenarnya dirimu?
aku adalah tidak ada, dan diam adalah diriku

kepompong

segumpal ulat , menggeliat panik,
Hari itu, nuraninya memanggilnya pulang
ketakutan menggerogoti kulitnya yang hijau menyala
ketenangan telah memanjakannya, menutup semua aibnya, menutup semua pintu dalam matanya.hidup memanjakan nafsunya, lidahnya, bahkan birahinya.
pelacur yang sering dilumatnya,dikulum seharian, dan dimuntahkan diakhir matahari, bukan karena sudah tak berasa, tapi semata hanya karena bosan, dan ia ingin kenikmatan berikutnya . Padahal kenikmatan berikutnya sama saja, tak bisa memuaskan nafsunya.

dalam puncak kenikmatan , ia menggulung kesakitan,
kaki-kakinya berkerut, kulitnya bergetar menggigil
bukan sakit karena sakit, tapi karena katakutan
matanya yang biasa menutup, menganga liar
aku tidak ingin pergi....
aku ingin tinggal...
aku ingin berteriak karena kesakitan
dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?
keringat pekat memancar dari dalam tubuhnya yang kenyal,
keluar seperti liur kenikmatan
warnanya seperti nanah keemasan, berserabut duri dari benang-benang matahari
menggigit sekujur tubuhnya yang melayu lunglai

dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?
dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?

matanya yang liar meredup hampa, wajahnya yang gempal mulai menipis
tubuhnya yang hijau sudah lesap diantara rantai duri dengan bau menusuk
mulutnya menganga dengan kekosongan, senyap dan sunyi.....
nafasnya sudah tak terdengar lagi
dirinya sudah pergi, tak secuilpun peduli
bahkan nafsunya sudah tak memperdulikanya lagi,...
birahinya hanya menatapnya jijik
ia sudah pulang, dibawa angin ketakutan...

ulat itu tidak mati
dalam kekosongan, ulat itu baru dihidupkan...


hidup itu bukan perjalanan, tetapi hidup itu sebuah perayaan akan suatu perubahan