Saturday, April 23, 2005

kepompong

segumpal ulat , menggeliat panik,
Hari itu, nuraninya memanggilnya pulang
ketakutan menggerogoti kulitnya yang hijau menyala
ketenangan telah memanjakannya, menutup semua aibnya, menutup semua pintu dalam matanya.hidup memanjakan nafsunya, lidahnya, bahkan birahinya.
pelacur yang sering dilumatnya,dikulum seharian, dan dimuntahkan diakhir matahari, bukan karena sudah tak berasa, tapi semata hanya karena bosan, dan ia ingin kenikmatan berikutnya . Padahal kenikmatan berikutnya sama saja, tak bisa memuaskan nafsunya.

dalam puncak kenikmatan , ia menggulung kesakitan,
kaki-kakinya berkerut, kulitnya bergetar menggigil
bukan sakit karena sakit, tapi karena katakutan
matanya yang biasa menutup, menganga liar
aku tidak ingin pergi....
aku ingin tinggal...
aku ingin berteriak karena kesakitan
dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?
keringat pekat memancar dari dalam tubuhnya yang kenyal,
keluar seperti liur kenikmatan
warnanya seperti nanah keemasan, berserabut duri dari benang-benang matahari
menggigit sekujur tubuhnya yang melayu lunglai

dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?
dimana diriku , tak kah ia terenyuh melihatku ?

matanya yang liar meredup hampa, wajahnya yang gempal mulai menipis
tubuhnya yang hijau sudah lesap diantara rantai duri dengan bau menusuk
mulutnya menganga dengan kekosongan, senyap dan sunyi.....
nafasnya sudah tak terdengar lagi
dirinya sudah pergi, tak secuilpun peduli
bahkan nafsunya sudah tak memperdulikanya lagi,...
birahinya hanya menatapnya jijik
ia sudah pulang, dibawa angin ketakutan...

ulat itu tidak mati
dalam kekosongan, ulat itu baru dihidupkan...


hidup itu bukan perjalanan, tetapi hidup itu sebuah perayaan akan suatu perubahan

No comments:

Post a Comment