Sunday, December 25, 2005

25 desember 2005 ( 03 )

CERITA 03;
........hari ini cangkang kepunyaanku sudah sebagian terisi pasir. Hampir semuanya bercahaya. Berwarna, wangi dan bersuara. Mereka bernyanyi dalam satu diskusi. Mereka sibuk saling bercerita tentang Tangan Kain seprai-ku.
Seminggu yang lalu, aku bertemu dengan sebuah rumah perahu. Pohon bambu berbaris rapi pada bagian mukanya. Sebagian daunya berbunga mutiara. Berkilau seperti dalam mimpi. Seseorang berdiri tegak pada pintunya.
” Jangan masuk.... kalau kamu belum siap!”
bahasanya sangat santun. Rupanya sangat tenang. Mengingatkan aku pada ibuku.
” Tapi,... masuklah, bila kau merasa dirimu sudah siap...”
suaranya seperti air susu. Melesap dalam setiap gema kepala kecilku. Semua kuduk pada tengkuk berdesah karena rindu.
“ Siap untuk apa?”
“ Untuk mencegah dirimu sendiri....”
“ Dari...?”
tiba-tiba ia menghampiriku. Nafasnya yang wangi berada seinci dari sudurku.
“ Dari dirimu sendiri sayangku....”
matanya menarik mataku kedalam dunianya. Semua ceritaku dilukisnya dalam-dalam. Aku tersentak.
“ Jadi,..... wahai musafir tua,.... apakah kau sudah siap?”
dan sebelum aku menjawabnya, ia telah melesap pergi. Terhanyut embun subuh dalam lantunan adzan maghrib.
Pintu rumah itu sudah kembali terbuka.
“ Bercintalah didalamnya,.... dan kudus khirka menyertainya”
sebuah papan besar tergantung diatasnya.
Aku mengintip kedalamnya sedikit, tercium berbagai wangi kue dan bunga. Bagian dalamnya seperti sebuah samudra syurga. Empat peri anak kecil berlari kecil diujung cahaya. Mereka tersenyum lebar, salah satu diantaran terbahak bahagia melihatku.
“bunda.....” panggil mereka lirih...
Disekeliling mereka terserak berbagai rambu. Yang pasti jumlahnya lebih dari satu. Tapi tidak ganjil.

Dilarang menjadi kayu !
Dilarang menjadi Pasak berkarat!
Kami hanyalah palsu!
Majulah, atau kau tak akan pernah maju lagi!
Bukalah jubah darwismu!, kenakan rahim ibumu!
Sembunyikan kitab sucimu, dibalik baju ibumu!
Lantunkan nafasKu !
Dan ada satu rambu menarik perhatianku. Bentuknya lebih kecil dibanding yang lain, tapi ia becahaya seperti emas. Terpahat pada sebuah awan, dengan burung-burung berkeliling mengitarinya. Rambu itu bertuliskan:
” Janganlah kau mencintai melebihi cintamu padaku”
Sang pakis penyejuk embun
Tiba-tiba langkah ku terhenti....


Aku takut. Takut menjadi kayu lagi. Terperdaya oleh beribu pasak yang melukai kulitku dengan karatnya yang bau. Aku takut, tak akan ada lagi tangan pakis menariku dari dalam rimba.
Aku takut. Padanya
Aku takut. Terperdaya untuk kedua kalinya.
Aku takut.

Hari ini. Aku masih bediri didepan pintu rumah perahu itu. Didalamnya terbentang samudra sutra. Tapi aku masih mengenakan jubah ketakutanku.

Berhentilah cinta,... menyebar kasihmu dalam hampa dunia. Kalau panahmu hanya akan menusukkan tujuh nista, lebih baik kau simpan sisamu, dan hijabkan pada wanita lain. Berhentilah cinta,... harapanmu perlahan menipuku. Berhentilah cinta,.... rindu ciptaanmu mengkoyakan lagi insangku. Padahal ia belum sempurna sembuh dari luka sejuta pasak karatnya. Berhentilah cinta,.... aku tak mau menghianati kekasih sejatiku, walaupun basuhmu adalah kiriman hadian darinya,.. tapi aku terlalu takut untuk mu cinta.
Biduk takut dan ragu telah mengikutiku, sejak kau membasuh tanganku cinta.

Dan hari ini aku masih berdiri didepan gerbang rumah perahu samudra sutra.
Dan tetap, aku masih terlalu takut untuk cinta.
Oh punggawa ragu,... pergilah dari Istanaku !!!
....

No comments:

Post a Comment